Sabtu, 04 Juli 2009

KISAH SILAHI SABUNGAN

Sabungan tinggal cukup lama bersama adiknya, Oloan, di Siogung-ogung (Pangururan-Samosir). Setelah dia merasa adiknya sudah dapat berdiri sendiri, Sabungan akhirnya pergi berkelana sampai akhirnya dia tiba di suatu tempat yang sangat indah, Paropo, di pinggir sebuah danau Toba yang sampai sekarang masih mempunyai nama sendiri Tao Silalahi. Karena tertarik dengan keindahannya, dia memilihnya sebagai tempat untuk bermukim. Ketekunannya bekerja menarik perhatian seorang pengembara yang kebetulan lewat dan datang memperkenalkan diri. Walaupun pada awalnya mereka sulit berkomunikasi karena bahasa keduanya sedikit berbeda, karena sering bertemu, akhirnya mereka dapat saling mengerti dan pembicaraan pun berjalan dengan lancar.

Pengembara tadi merasa prihatin melihat Sabungan masih hidup dalam kesendirian. Dengan sedikit malu-malu, pengembara tersebut menawarkan kepada Sabungan untuk menjalin suatu hubungan kekeluargaan. Dia bercerita tentang iboto-nya yang berjumlah tujuh orang. “Kalau engkau mau, engkau tinggal memilih,” demikian si pengembara menawarkan. Ternyata, Sabungan tertarik dengan tawaran itu. Dia akhirnya mengikuti ajakan si pengembara untuk melihat gadis-gadis tersebut. Setiba di kampung si pengembara, Sabungan tertegun melihat kecantikan ketujuh gadis itu.

Karena semuanya tampak sama-sama cantik, sulit baginya untuk menentukan pilihan. Akhirnya, Sabungan mendapat suatu akal. Dia meminta ketujuh gadis itu menyeberangi suatu sungai kecil satu per satu. Dia akhirnya memilih seorang di antara mereka, yaitu gadis yang menyeberang tanpa mengangkat kain penutup tubuhnya. Gadis itulah yang kemudian dijadikannya sebagai isteri. Pilihan Sabungan ternyata cukup tepat karena, dari isterinya ini, Sabungan memperoleh banyak anak. Dengan kelahiran anak-anaknya ini, pupus sudah anggapan orang yang selama ini meragukan kelaki-lakian Sabungan. Keraguan ini muncul karena Sabungan tidak kawin dalam tempo yang cukup lama.

Karena cukup lama tidak berumah tangga, orang menganggapnya bukan laki-laki sejati. Akhirnya, setelah dia mengawini wanita pilihannya dan memperoleh banyak anak, anggapan itu pupus dengan sendirinya. Sabungan benar-benar adalah lalahi (lelaki). Sesuai dengan kebiasaan orang Batak, nama pengganti ini lebih populer daripada nama aslinya. Sejak itu, nama lengkapnya berubah menjadi Silalahi Sabungan atau Silahi Sabungan. Ada banyak cerita yang berkembang tentang Silahi Sabungan ini. Salah satu di antaranya ialah cerita tentang bagaimana dia diperdaya oleh Raja Mangatur dari keturunan Sorba Dijae.

Konon, ke wilayah Patane di Onan Porsea datang seorang jagoan yang bernama Rahat Bulu. Nama ini adalah pemberian orang karena, siapa pun berurusan dengan Rahat Bulu (buluh yang sangat gatal), dia pasti celaka. Raja Mangatur merasa gerah dengan kehadiran orang ini dan berpikir keras bagaimana cara untuk menyingkirkannya. Sementara itu, berita tentang kehebatan Sabungan telah lama didengar oleh Raja Mangatur. Karena itu, dia berkeinginan untuk mengikat hubungan persaudaraan dengan Sabungan dengan maksud, bila sesuatu terjadi dengan Rahat Bulu yang suka mencari setori, Sabungan akan dilibatkan. Akan tetapi, dia tidak mengetahui caranya karena Sabungan telah mempunyai isteri dan anak. Untuk itu, dia mencari akal dengan mengatakan bahwa anak gadisnya sedang jatuh sakit dan hanya dapat sembuh apabila diobati oleh Sabungan. Sabungan berhasil dibujuk dan pergi mengikuti Raja Mangatur ke kampung-halamannya.

Begitu diobati oleh Sabungan, gadis itu pun sembuh. Akan tetapi, begitu dia ditinggal oleh Sabungan, penyakitnya kambuh lagi. Hal itu terjadi berulang-ulang. Agar penyakitnya benar-benar sembuh, diambil kesepakatan bahwa anak gadis itu harus dikawinkan dengan Sabungan. Walaupun usia keduanya terpaut jauh, karena alasan kemanusiaan, Sabungan akhirnya setuju.

Dari isterinya yang masih muda ini, Sabungan memperoleh seorang anak laki-laki yang rupawan dan diberinya nama Tambun.

Suatu waktu pada hari pekan, dengan bangga anak tersebut dibawa oleh ibunya mangebang ke pasar. Rahat Bulu kebetulan melihat anak kecil yang rupawan itu, lalu merampasnya dari gendongan ibunya. Dia mengatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya sendiri sebagai hasil hubungan gelapnya dengan ibu muda tadi. Sudah tentu, hal ini di protes ibu muda itu karena dia sama sekali tidak mengenal lelaki ini. Akan tetapi, apa pun yang dikemukakan ibu muda tersebut, Rahat Bulu tetap mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya. Peristiwa itu dilaporkan kepada Sabungan. Sabungan datang ke pasar dan mencoba untuk menjelaskan bahwa anak tersebut adalah anaknya. Rahat Bulu tetap bersikeras dan mengatakan bahwa anak tersebut adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan wanita muda tersebut.

Untuk jalan keluar, diambil kesepakatan, untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah, keduanya secara bergantian diminta untuk memasuki sebuah batang (peti mati terbuat dari sebatang pohon kayu besar; di belah dua, sebagian untuk tempat mayat dengan cara menoreh lobang untuk tempat mayat dan sebagian dijadikan sebagai tutup). Sebelum keduanya secara bergantian memasuki peti mati, Sabungan bertanya pada banyak orang yang hadir: ‘Porsea do hamu sude ?” (Apakah kalian percaya ?) Hadirin serentak menjawab: “Porsea … Porsea”. (percaya… percaya). Karena kedua belah pihak sudah setuju, begitu pula orang-orang yang menyaksikannya, maka dicarilah sebuah batang. Setelahnya sang ibu muda tadi dipersilahkan masuk lebih dahulu, lalu keluar dengan tidak kurang suatu apa pun.

Orang yang melihat pun ber sorak sorai. Rahat Bulu kemudian menyusul dan dengan rasa yakin akan bisa keluar dari peti mati itu dengan selamat. Akan tetapi, begitu dia masuk dan menelentangkan diri, peti mati itu langsung tertutup rapat. Segala upaya dilakukan baik oleh keluarganya yang turut menyaksikan, peti mati itu tetap saja tidak dapat dibuka. Peti mati itu kemudian diterbangkan oleh Sabungan ke Dolok Simanuk-manuk dan Rahat Bulu, konon, menjadi hantu pengganggu di sana. Konon inilah asal mula nama Onan Porsea dekat Patane tempat raja-raja berkumpul.

Karena khawatir akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, anak kecil ini kemudian dibawa ke Paropo. Pada awalnya, anak itu ditaruh di suatu tempat yang tersembunyi. Sabungan tidak ingin kehadiran anak kecil ini akan membawa persoalan baru mengganggu kerukunan dalam rumah tangganya. Akan tetapi, bagaimana pun pintarnya Sabungan menyembunyikan si anak kecil ini, rahasianya akhirnya terbongkar.

Hal ini diawali dengan seringnya Sabungan menyisakan makanannya dan membawanya ke tempat yang tidak diketahui isterinya. Kelakuan ini terasa aneh bagi isterinya yang memintanya untuk berterus terang, untuk siapa makanan tersebut disembunyikan. Akhirnya, Sabungan berceritera perihal kepergiannya ke tempat Raja Mangatur dan perkawinannya dengan puterinya yang menghasilkan anak kecil tersebut. Dia juga menceritakan peristiwa yang menimpa si anak sehingga, demi keselamatannya, dia terpaksa dibawa ke kampung-halamannya sendiri. Hati isterinya terenyuh dan dapat menerima hal ini sebagai suatu kenyataan. Dia akhirnya bertekad akan menganggap anak kecil itu sebagai putera bungsunya dan memeliharanya sebagai anak sendiri.

Hal itu dikemukakan kepada anak-anaknya dan ternyata tidak seorang pun merasa keberatan. Mereka sepakat untuk menerimanya sebagai adik bungsu. Untuk memperteguh kesepakatan ini, si ibu mengumpulkan anak-anaknya dan mereka secara bersama-sama memakan sejenis makanan yang dikenal dengan sagu-sagu mallangan. Makan bersama inilah yang belakangan dikenang oleh keturunan Silahi Sabungan dengan sumpah “Sagu-sagu Mallangan,” suatu sumpah yang mengakui Tambunan sebagai adik bungsu dalam keluarga Silahi Sabungan.

Dan marga Tambunan hingga saat ini merasa lebih nyaman dalam kelompok marga SILAHI SABUNGAN, hingga merasa tidak perlu membentuk persatuan dalam kelompok marga sendiri.

Silsilah Marga Silahisabungan.

Data yang dikumpulkan dari berbagai buku maupun turi-turian, bahwa Raja Silahisabungan mempunyai 2(dua) isteri.

Isteri pertama adalah Pinggan Matio boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi Nabolak dan isteri kedua adalah Milingiling boru Mangarerak.

Dari boru Pinggan Matio, Raja Silahisabungan memiliki tujuh (7) putra dan satu (1) putri. Sedangkan dari boru Milingiling, Silahisabungan memiliki seorang putra. Kedelapan putra Raja Silahisabungan dan seorang putri tersebut secara singkat dapat dijelaskan seperti dibawah ini.


Dari isteri pertama lahir sbb:

1. Haloho (Loho Raja)

2. Tungkir (Tungkir Raja)

3. Rumasondi (Sondi Raja)

4. Dabutar (Butar Raja)

5. Dabariba (Bariba Raja)

6. Debang (Debang Raja)

7. Pintubatu (Batu Raja)

8. Siboru Deang Namora.

Dari isteri kedua lahir satu putra yaitu:

1. Tambun(Tambun Raja)

1. Haloho (Loho Raja) menikah dengan boru tulangnya Rumbani boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi nabolak.Keturunannya sebagian pindah ke Paropo, Tolping, Pangururan, Parbaba. Haloho memiliki 3 putra yaitu : Sinaborno, Sinapuran, dan Sinapitu. Pada umumnya keturunannya memakai marga Sihaloho, dan hingga dewasa ini belum ada cabang marga ini.

2. Tungkir (Tungkir Raja) menikah dengan Pinggan Haomasan boru Situmorang dan bermukim juga di Silalahi nabolak. Pasangan ini juga memiliki 3 putra yaitu : Sibagasan, Sipakpahan dan Sipangkar. Keturunannya pada umumnya memakai marga Situngkir terutama Sibagasan dan Sipakpahan, sedangkan keturunan Sipangkar sebagian besar telah memakai Sipangkar sebagai marga.

3. Rumasondi (Sondi Raja) menikah dengan Nagok boru Purba Siboro. Pasangan ini juga bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya yaitu Rumasingap membuka perkampungan di Paropo.Rumasondi memiliki putra sbb : Rumasondi, Rumasingap, dan Rumabolon. Umumnya keturunannya memakai marga Rumasondi dan sebagaian memakai marga Silalahi (di balige) dan bahkan Rumasingap juga dipakai sebagai cabang marga. Demikian juga Doloksaribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, telah digunakan sebagai cabang marga dan masuk rumpun marga Rumasondi.

4. Dabutar (Butar Raja) menikah dengan Lagumora Sagala. Mereka juga tinggal di Silalahi Nabolak. Dabutar ini mempunyai tiga putra yaitu : Rumabolon, Ambuyak, dan Rumatungkup. Umumnya keturunannya memakai marga Sinabutar atau Sinamutar bahkan Sidabutar.

5. Dabariba Raja (Baba Raja) menikah dengan Sahat Uli boru Sagala. Mereka bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya memakai marga Sidabariba atau Sinabariba. Putranya berjumlah tiga yaitu : Sidabariba Lumbantonga, Sidabariba Lumbandolok, Sidabariba Toruan. Mereka ini pada umumnya memakai marga Sidabariba.

6. Debang (Debang Raja) menikah dengan Panamenan boru Sagala, juga bermukim di Silalahi nabolak. Keturunannya sebagaian menyebar ke Paropo. Debang Raja mempunyai 3 putra : Parsidung, Siari dan Sitao. Umumnya keturunannya memakai marga Sidebang atau Sinabang.

7. Pintu Batu (Batu Raja) menikah dengan Bunga Pandan boru Sinaga, juga tinggal di Silalahi nabolak. Memiliki 3 putra yaitu : Hutabalian, Lumbanpea, Sigiro. Keturunannya menggunakan marga Pintu Batu, tetapi keturunan Sigiro sebagian memakai marga Sigiro.

8. Tambun (Tambun Raja) adalah putra Raja Silahisabungan dari si boru Milingiling. Ketika masih remaja, Tambun meninggalkan Silalahi nabolak menemui ibu kandungnya di Sibisa Uluan. Tambun menikah dengan Pinta Haomasan boru Manurung dan bermukim di Sibisa. Dari Sibisa keturunannya berserak ke Huta Silombu, Huta Tambunan dan Sigotom Pangaribuan. Putra Raja Tambun berjumlah tiga orang yaitu : Tambun Mulia, Tambun Saribu, Tambun Marbun. Umumnya keturunannya memakai marga Tambun dan Tambunan, bahkan diantaranya memakai marga Baruara, Pagaraji, Ujung Sunge,Lumpan Pea.

Disamping marga-marga yang disebut di atas, Anak-anak Raja Silahisabungan dari isteri pertama memakai marga Silalahi. Sedangkan keturunan Tambun tetap menggunakan marga Tambun (oleh keturunan Tambun Uluan) atau Tambunan (oleh keturunan Tambun Koling).

PODA SAGU SAGU MARLANGAN

Poda sagu-sagu marlangan muncul karena munculnya pertengkaran antara Anak-anak Raja Silahisabungan dengan Si Raja Tambun yang mendapat perhatian lebih dari Ibunya Pinggan Matio dibandingakan anaknya yang lain, kemudian Raja Silahisabungan menyuruh Pinggan Mation menempa Sagu – sagu Marlangan berbentuk manusia yang ditaruh di kedalaman ampang ( Sejenis bakul). Kemudian SilahiSabungan memanggil seluruh putra putrinya dan Isterinya mengelilingi Sagu-sagu Marlangan dan kemudian menyampaikan pesan (WASIAT) yang isinya seperti dibawah ini :

HAMU ANAKKU NA UALU :


1. INGKON MASIHAHOLONGAN MA HAMU SAMA HAMU RO DI POMPARANMU, SISADA ANAK SISADA BORU NA SO TUPA MASIOLIAN, TARLUMOBI POMPARANMU NA PITU DOHOT POMPARAN NI SI RAJA TAMBUN ON.

2. INGKON HUMOLONG ROHAMU NA PITU DOHOT POMPARANMU TU BORU POMPARAN NI ANGGIMU SI RAJA TAMBUN ON, SUWANG SONGON I NANG HO RAJA TAMBUN DOHOT POMPARANMU INKON HUMOLONG ROHAM DI BORU POMPARAN NI HAHAM NA PITU ON.

3. TONGKA DOHONONMU NA UALU NA SO SAAMA SAINA HAMU TU PUDIAN NI ARI.

4. TONGKA PUNGKAON BADA MANANG SALISI TU ARI NA NAENG RO
5. MOLO ADONG PARBADAAN MANANG PARSALISIHAN DI HAMU, INGKON SIAN TONGA – TONGAMU MASI TAPI TOLA, SIBAHEN UMUM NA TINGKOS NA SOJADI MARDINKAN, JALA NA SO TUPA HALAK NA HASING PASAEHON.

Kemudian Raja Silahisabungan duduk dan menyuruh anak-naknya menjamah sagu – sagu marlangan itu tanda kesetiaan dan ikrar yang harus djunjung tingga. ke 8 anak Raja Silahisabungan menjamah Sagu – sagu marlangan itu dan berkata :” Sai dipargogoi Mulajadi Nabolon ma hami dohot pomparan nami mangulahon poda na nilehonmi amang,” kata mereka bergantian. Kemudian Raja Silahisabungan berkata, barang siapa yang melanggar wasiat ini seperti sagu – sagu marlangan inilah tidak berketurunan, ingkon mago jalan pupur.” Katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar