Menyusuri jalan lingkar dalam Pulau Samosir dan jalan lintas Sumatera di kawasan Tapanuli, ratusan bangunan tambak, makam keluarga Batak, berserak di pinggir jalan. Aneka ragam desain bermunculan seolah bersaing menjadi yang paling indah.
Bentuk makam itu beraneka ragam, dari tugu dengan patung-patungnya, kapal, pagoda, miniatur gereja, hingga vila. Banyak yang tampak sangat megah dan unik, bahkan bisa menjadi penanda (landmark) sebuah kawasan.
Bangunan-bangunan dari semen indah dan megah itu baru muncul pada paruh abad ke-20. Sebelumnya, makam asli keluarga Batak cukup ditandai dengan pohon (hariara) yang kebanyakan berupa pohon beringin. Makam sendiri berupa tanah yang ditinggikan atau peti batu yang digeletakkan di dataran. Orang bahkan banyak yang sudah lupa bahwa istilah makam Batak yang asli adalah tambak. Banyak orang menyebut makam Batak kini sebagai tugu karena saking banyaknya makam yang berbentuk tugu.
Menurut Amudi Pasaribu dalam tulisannya berjudul ”Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi Sosial-Ekonomi”, pembangunan tugu makam secara besar-besaran mulai terjadi pada dasawarsa 1955-1965 di bona pasogit (kampung halaman orang Batak). Para perantau menjadi penyumbang terbesar pembangunan tugu.
Keputusan untuk memasukkan anggota keluarga yang meninggal dalam tambak biasanya dilakukan dengan rapat adat.
Ada dua jenis pemakaman adat Batak. Pertama, penguburan langsung ke tanah sesaat setelah kematian, terutama bagi orang yang mati muda.
Yang kedua adalah penguburan jenazah ke tanah, yang dilanjutkan penguburan tulang belulang beberapa tahun kemudian setelah proses pembusukan terjadi. Proses pemakaman kedua ini disebut mangokal holi.
Kini banyak warga Batak menyatukan proses pembusukan dan pemakaman tulang dalam satu tambak. Bagian bawah tambak menjadi makam tempat pembusukan, bagian atas tempat disemayamkan tulang-tulang.
Bagi orang Batak tak ada tambak yang menakutkan. Leluhur yang jasadnya masuk ke tambak adalah orang-orang yang justru jiwanya akan membantu mereka yang hidup.
Bila seorang laki-laki batak kawin dengan boru batak, maka marga dari pihak perempuan disebut Hula-hula.
2. Bona Tulang
Pihak dari marga orang tua perempuan, atau Hula-hula dari orang tua laki-laki kita, Setiap seorang anak hendak menikah, orang tua harus mengundang Bona Tulang, dan kalau orang tua kita meninggal maka pihak dari Bona Tulang lah yang akan memberikan UlosSaput atau Ulos Tujung.
3. Bona Ni Ari
Sebutan untuk Marga dari Opung perempuan, atau marga dari orang tua perempuan bapak, dan di pesta pernikan dan kematian pihak marga ini harus di undang atau di panggil.
4. Tulang Rorobot
Sebutan untuk tulang dari orang tua perempuan kita, bila seorang anak menikah, tulang dari orang tua perempuan kita harus di panggil untuk menerima jambar. Dan Hubungan ikatan kekeluargaan dengan Tulang Rorobot putus kepada anak kita.
5. Hula-hula Haha Maranggi ( Hula-hula Anak Manjae)
Sebutan atau panggilan untuk marga dari hula-hula dari saudara laki-laki kita yang sudah menikah., contohnya ; marga dari istrinya abang atau adik.
6. Dongan Tubu
Sebutan atau panggilan untuk marga yang sama dengan marga kita, atau marga-marga dari satu rumpun atau satu Opung. Contohnya Sinurat dengan Haloho, Situngkir, Dolok Saribu, Sidebang, Nadapdap, Si Giro, Tambunan dan lain-lain adalah Dongan tubu dari Silahi Sabungan
7. Suhut
Sebutan atau panggilan ke marga yang melaksanakan Acara adat, contohnya bila Sinurat mengawin kan anak dengan marga Situmorang, maka marga Sinurat dan Situmorang adalah Suhut.
8. Par Boru
Pada satu upacara adapt batak, par boru adalah pekerja, yang termaksud parboru adalah marga dari suami ito-ito kita, marga dari suami itonya bapak atau itonya opung kita.
9. Bere
Adalah panggilan atau jabatan dari marga keturunan ito kita
10. Ibe Bere
Adalah panggilan untuk marga dari keturunan anaknya ito kita. Bila anaknya ito kita sudah bekeluarga maka anak dari anaknya ito kita tersebut adalah ibe bere kita.
11. Haha Maranggi
Panggilan untuk Saudara semarga Kaka beradik yang sudah menikah., sesuai urutan dari kedudukan opung dari yang paling tua sampai yang paling muda.
12. Na Mar Pariban
Sebutan untuk marga dari suami-suami saudara perempuan dari orang tua perempuan kita.
Bagi orang batak yang belum menikah, tidak ada jabatan yang diberikan kepada mereka dan mereka tidak dapat untuk mengikuti ritual adat, mereka hanya sebagai penonton.
Di suku batak banyak terdapat panggilan-panggilan sehari-hari untuk orang batak, panggilan tersebut harus di sesuaikan dengan struktur kedudukannya di sebuah keluarga.
Pangilan-panggilan tersebut antara lain :
1. Opung
Panggilan untuk orang tua dari orang tua kita, baik dari orang tua laki-laki maupun dari orang tua perempuan, atau panggilan untuk tingkat generasinya (nomoratau Sundut) sejajar dengan Opung. Jadi bias aja orang yang masih lebih muda dari kita kita panggil opung kalau tingkat kedudukannya setaraf dengan Opung.
2. Tulang
Panggilan untuk saudara laki-laki dari orang tua perempuan kita, atau panggilan untuk laki-laki dari marga Bona tulang, Bona Ni Ari, Tulang rorobot, serta Hula-hula Hahamaranggi yang setarap kedudukannya dengan Tulang.
3. Bapa Tua
- Panggilan untuk saudara kandung yang tertua dari orang tua laki laki kita
- Panggilan kepada Saudara semarga yang tertua dari satu Pomparan (Opung Kakakberadik).
- Panggilan untuk suami dari kakak perempuanorang tua perempuan kita ( Na mar pariban)
- Panggilan untuk Dongan Tubu yang lebih tua umurnya dari orang tua kita laki-laki.
4. Bapa Uda
- Panggilan untuk saudara kandung dari orang tua kita laki-laki yang lebih muda usianya.
- Panggilan kepada Saudara semarga yang lebih muda usianya dari satu Pomparan (Opung Kakakberadik).
- Panggilan untuk suami dari adik perempuanorang tua perempuan kita ( Na mar pariban)
- Panggilan kepada Saudara semarga yang lebih muda usianya dari satu Pomparan (Opung Kakakberadik).
5. Inang Tua
Panggilan untuk istri dari Bapa Tua
6. Inang Uda
Panggilan untuk istri dari Bapa Uda
7. Amang Boru
Panggilan untuk marga dari suami ito-itonya bapak atau opung kita, atau suami dari perempuan yang semarga atau Dongan Tubu yang setaraf generasinya dengan orang tua laki-laki atau opung laki-laki kita.
8. Namboru
Panggilan untuk saudara perempuan Bapak atau Opung, bias juga panggilan untuk perempuan Dongan Tubu kita yang setaraf generasinya dengan orang tua laki-laki atau Opung laki-laki kita.
9. Parmuaen
Panggilan orang tua kepada istri dari anak laki-lakinya.
10 Hela
Panggilan orang tua kita kepada suami dari anak perempuannya
11. Inang Bao
Panggilan kepada istri dari saudara kandung abang atau adik, serta istri-istri dari Dongan tubu yang setaraf dengan kita.
12. Amang Bao
Panggilan istri dari saudara kandung atau saudara semarga, atau Dongan tubu, kepada kita.
13. Lae.
Panggilan timbal balik untuk laki-laki dengan laki-laki antara kita dengan suami dari ito kita, dan biasanya untuk kehidupan sehari hari dari orang batak yang belum kenal tutur atau tarombo bila ketemudengan marga yang berbeda dengan kita kita bisa panggil Lae.
14. Ito
Panggilan timbale balik antara laki-laki dengan saudara perempuannya, panggilan ito juga bisa digunakan untuk panggilan timbale balik antara laki-laki dan perempuan yang berbeda marga sebelum tau tutur atau kedudukannya di keluarga.
15. Eda
Panggilan dari saudara perempuan kepada istri dari saudara laki-lakinya (Dongan Tubu), dan sebaliknya istri dari saudara laki-laki (Dongan Tubu) kepada adik perempuan suaminya (Dongan Tubu).
16. Bere
Panggilan untuk anak dari ito kita.
17. Pariban
Panggilan untuk anak perempuan tulang kita.
18. Apara
Panggilan kepada orang yang semarga dengan kita (Dongan Tubu) bila kita belum kenal atau belum tau struktur hubungan kekeluargaan.
19. Amang
- Panggilan Istri kita kepada tulang kita, karena diadat batak kita harusnya mengambil boru tulang (Pariban) jadi Istri kita yang tidak semarga dengan tulang kita dianggap borunya.
- Panggilan Istri kita kepada orang tua laki-laki kita,
20. Inang
- Panggilan istri kita kepada istri tulang kita.
- Panggilan istri kita kepada orang tua perempuan kita.
- Panggilan dari orang tua laki-laki kita kepada istri kita.
Pendahuluan Berbicara tentang Sari Matua, Saur Matua dan Mauli Bulung adalah berbicara tentang
kematian seseoang dalam konteks adat Batak. Adalah aksioma, semua orang harus mati, dan hal itu dibenarkan oleh semua agama. Bukankah pada Kidung Jemaat 334 disebut: “Tiap orang harus mati, bagai rumput yang kering. Makhluk hidup harus busuk, agar lahir yang baru. Tubuh ini akan musnah, agar hidup disembuhkan. di akhirat bangkitlah, masuk sorga yang megah.”
Selain yang disebutkan diatas, masih ada jenis kematian lain seperti “Martilaha” (anak yang belum berumah tangga meninggal dunia), “Mate Mangkar” (yang meninggal suami atau isteri, tetapi belum berketurunan), “Matipul Ulu” (suami atau isteri meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil), “Matompas Tataring” (isteri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil).
Sari matua
Tokoh adat yang dihubungi Ev H Simanjuntak, BMT Pardede, Constan Pardede, RPS Janter Aruan SH membuat defenisi : “Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).
Mengacu kepada defenisi diatas, seseorang tidak bisa dinobatkan (dialihkan statusnya dari Sari Matua ke Saur Matua. Namun dalam prakteknya, ketika hasuhuton “marpangidoan” (bermohon) kepada dongan sahuta, tulang, hula-hula dan semua yang berhadir pada acara ria raja atau pangarapotan, agar yang meninggal Sari Matua itu ditolopi (disetujui) menjadi Saur Matua.
Sering hasuhuton beralasan, “benar masih ada anak kami yang belum hot ripe (kawin), tetapi ditinjau dari segi usia sudah sepantasnya berumah tangga, apalagi anak-anak kami ini sudah bekerja dan sebenarnya, anak kami inilah yang membelanjai orang tua kami yang tengah terbaring di rumah duka. “Semoga dengan acara adat ini mereka secepatnya menemukan jodoh (asa tumibu dapotan sirongkap ni tondi, manghirap sian nadao, manjou sian najonok). Status Sari Matua dinaikkan setingkat menjadi Saur Matua seperti ini ditemukan pada beberapa acara adat.
Tokoh adat diatas berkomentar, permintaan hasuhuton itu sudah memplesetkan nilai adat yang diciptakan leluhur. Pengertian Sari Matua, orang itu meninggal, sebelum tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan anak-anaknya. Tidak diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan.
Mereka memprediksi, terjadinya peralihan status, didorong oleh umpasa yang disalah tafsirkan yakni: “Pitu lombu jonggi, marhulang-hulanghon hotang, raja pinaraja-raja, matua husuhuton do pandapotan.” (semua tergantung suhut). Umpasa ini sasarannya adalah untuk “sibuaton” (parjuhutna-boan), karena bisa saja permintaan hadirin parjuhutna diusulkan lombu sitio-tio atau horbo, tetapi karena kurang mampu, hasuhuton menyembelih simarmiak-miak (B2), atau sebaliknya jika mampu, simarmiak-miak marhuling-hulinghon lombu, simarmiak-miak marhuling-hulinghon horbo. Faktor lain ujar mereka, adanya “ambisi” pihak keluarga mengejar cita-cita orang Batak yakni hamoraon, hagabeon, hasangapon. Selanjutnya, dongan sahuta, terkesan “tanggap mida bohi”, karena mungkin pihak hasuhuton orang “terpandang”.
Sebenarnya, untuk meredam “ambisi” hasuhuton, senjata pamungkas berada ditangan Dongan Sahuta. Benar ada umpasa yang mengatakan : “Tinallik landurung bontar gotana, sisada sitaonon dohot las ni roha do namardongan sahuta, nang pe asing-asing margana.” Tetapi bukankah ada umpasa yang paling mengena: “Tinallik bulu duri, sajongkal dua jari, dongan sahuta do raja panuturi dohot pengajari.” Mereka harus menjelaskan dampak negatif dari peralihan status Sari Matua ke Saur Matua berkenaan dengan anak-anak almarhum yang belum hot ripe. Artinya, jika kelak dikemudian hari, anak tersebut resmi kawin, karena dulu sudah dianggap kawin, tentu dongan sahuta tidak ikut campur tangan dalam seluruh kegiatan/proses perkawinan. Barangkali, bila hal itu diutarakan, mungkin pihak hasuhuton akan berpikir dua kali, sekaligus hal ini mengembalikan citra adat leluhur.
Selanjutnya, ada pula berstatus “Mate Mangkar” berubah menjadi Sari Matua, karena diantara anaknya sudah ada yang berumah tangga namun belum dikaruniai cucu. Hasuhuton beralasan, parumaen (menantu) sudah mengandung (“manggora pamuro”). Hebatnya lagi, parjuhutna (boan) sigagat duhut (bukan simarmiak-miak merhuling-hulinghon horbo).
Saya kurang setuju menerima adat yang demikian”, ujar Ev H Simanjuntak. Lahir dulu, baru kita sebut Si Unsok atau Si Butet, kalau orang yang meninggal tadi dari Mate Mangkar menjadi Sari Matua, lalu ompu si apa kita sebut? Ompu Sipaimaon?”, katanya memprotes. Kalau hanya mengharapkan manjalo tangiang menjadi partangiangan, kenapa kita sungkan menerima apa yang diberikan Tuhan kepada kita, sambungnya. Soal boan sigagat duhut, menurut Simanjuntak, hal itu sudah melampaui ambang batas normal adat Batak. Seharusnya simarmiak-miak, karena kerbau adalah ternak yang paling tinggi dalam adat Batak, tegasnya.
Ulos tujung dan sampe tua
Ulos tujung, adalah ulos yang ditujungkan (ditaruh diatas kepala) kepada mereka yang menghabaluhon (suami atau isteri yang ditinggalkan almarhum). Jika yang meninggal adalah suami, maka penerima tujung adalah isteri yang diberikan hula-hulanya. Sebaliknya jika yang meninggal adalah isteri, penerima tujung adalah suami yang diberikan tulangnya. Tujung diberikan kepada perempuan balu atau pria duda karena “mate mangkar” atau Sari Matua, sebagai simbol duka cita dan jenis ulos itu adalah sibolang.
Dahulu, tujung itu tetap dipakai kemana saja pergi selama hari berkabung yang biasanya seminggu dan sesudahnya baru dilaksanakan “ungkap tujung” (melepas ulos dari kepala). Tetapi sekarang hal itu sudah tidak ada lagi, sebab tujung tersebut langsung diungkap (dibuka) oleh tulang ataupun hula-hula sepulang dari kuburan (udean). Secara ratio, yang terakhir ini lebih tepat, sebab kedukaan itu akan lebih cepat sirna, dan suami atau isteri yang ditinggal almarhum dalam waktu relatif singkat sudah dapat kembali beraktifitas mencari nafkah. Jika tujung masih melekat di kepala, kemungkinan yang bersangkutan larut dalam duka (margudompong) yang eksesnya bisa negatif yakni semakin jauh dari Tuhan atau pesimis bahkan apatis.
Ulos Sampe Tua, adalah ulos yang diberikan kepada suami atau isteri almarhum yang sudah Saur Matua, tetapi tidak ditujungkan diatas kepala, melainkan diuloskan ke bahu oleh pihak hula-hula ataupun tulang. Jenis ulos dimaksud juga bernama Sibolang. Ulos Sampe Tua bermakna Sampe (sampailah) tua (ketuaan-berumur panjang dan diberkati Tuhan).
Akhir-akhir ini pada acara adat Sari Matua, sering terlihat ulos yang seharusnya adalah tujung, berobah menjadi ulos sampe tua. Alasannya cukup sederhana, karena suami atau isteri yang ditinggal sudah kurang pantas menerima tujung, karena faktor usia dan agar keluarga yang ditinggalkan beroleh tua.
Konsekwensi penerima ulos Sampe Tua adalah suami ataupun isteri tidak boleh kawin lagi. Seandainya pesan yang tersirat pada ulos Sampe Tua ini dilanggar, kawin lagi dan punya anak kecil lalu meninggal, ulos apa pula namanya. Tokoh adat Ev H Simanjuntak, BMT Pardede, Raja Partahi Sumurung Janter Aruan SH dan Constant Pardede berpendapat sebaiknya ulos yang diberikan adalah tujung, sebab kita tidak tahu apa yang terjadi kedepan. Toh tujung itu langsung dibuka sepulang dari kuburan, ujar mereka.
Saur Matua
Seseorang disebut Saur Matua, ketika meninggal dunia dalam posisi “Titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru”. Tetapi sebagai umat beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu.
Khusus tentang parjuhutna, Ev H Simanjuntak bersama rekannya senada mengatakan, yang cocok kepada ina adalah lombu sitio-tio atau kalau harus horbo, namanya diperhalus dengan sebutan “lombu sitio-tio marhuling-hulinghon horbo”. Sebab kelak jika bapak yang meninggal, “boan”-nya adalah horbo (sigagat duhut).
Diminta tanggapannya apakah keharusan boan dari mereka yang Saur Matua lombu sitio-tio atau sigagat duhut, tokoh adat ini menjelaskan, hal itu relatif tergantung kemampuan hasuhuton, bisa saja simarmiak-miak. Disinilah pemakaian umpasa “Pitu lombu jonggi, marhulang-hulanghon hotang, raja pinaraja-raja, matua hasuhuton do pandapotan”. Kalangan hula-hula, terutama dongan sahuta harus memaklumi kondisi dari hasuhuton agar benar-benar “tinallik landorung bontar gotana, sada sitaonon do na mardongan sahuta nang pe pulik-pulik margana”. Jangan terjadi seperti cerita di Toba, akibat termakan adat akhirnya mereka lari malam (bungkas) kata mereka.
Masih seputar Saur Matua khususnya kepada kaum bapak, predikat isteri tercinta, kawin lagi dan punya keturunan. Kelak jika bapak tersebut meninggal dunia, lalu anak yang ditinggalkan berstatus lajang, sesuai dengan defenisi yang dikemukakan diawal tulisan ini, sang bapak menjadi Sari Matua.
Mauli Bulung
Mauli Bulung, adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namar-nini, sahat tu namar-nono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya, tak seorangpun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) (Seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut).
Dapat diprediksi, umur yang Mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas, ditinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.
Dalam tradisi adat Batak, mayat orang yang sudah Mauli Bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat).
Kematian seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis. Mereka boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.
Pada dasarnya, Adat Perkawinan Adat Batak, mengandung nilai sakral. Dikatakan sakral karena dalam pemahaman perakwainan adat Batak, bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia "berkorban" memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak penganten pria), yang menjadi besarnya nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan / mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk / adat perkawinanitu. Sebagai bukti bahwa santapan / makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekornya masih melekat, hati, jantung dll). Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan / kehadiran mereka didalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut. Sebelum misi / zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini (waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda / simbol penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi /kerbau dan disakasikan parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual) , paranak sendiri yang menggiring lembu / kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru. Daging hewan inilah yang menjadi makanan pokok "parjuhut" dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan / juhut itu tetap paranak yang membawa /
mempersembahkan Kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya "namargoar / tudu- tudu sipanagnaon" tanpa "juhutnya" bukan namrgoar tetapi "namargoar rambingan" yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat paranak bermakna "paranak" telah melecehkan parboru, dan kalau ditempat parboru (dialap jula) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri. Dari pengamatan hal seperti ini sudah terjadi dua kali di Batam, yang menunjukkan betapa tidak dipahami nilai luhur adat itu. Anggapan acara adat Batak rumit dan bertele-tele adalah keliru, sepanjang ia diselenggarakan sesuai pemahamn dan nilai luhur adat itu sendiri. Ia menajdi rumit dan bertele-tele karena diselenggrakan sesuai pamahaman atau seleranya.
URUTAN KEGIATAN
Gambar Nama-nama Bagian Hewan Sapi/Kerbau (Tanda makanan Adat)
BAGIANIPRA NIKAH
Yang dimaksud dengan pra nikah disini adalah proses yang terjadi sebelum
acara adat pernikahan.
A.Perkenalan dan bertunangan.
Pernikahan tidak selalu dengan proses ini, khususnya ketika masih masanya
Siti Nurbaya
B. PatuaHata.
Terjemahannya menyampaiakan secara resmi kepada orang tua perempuan hubungan
muda mudi dan akan dilanjukan ke tingkat perkawinan. Dengan bahasa umum,
melamar secara resmi.
C. Marhori-hori dinding.
Membicarakan secara tidak resmi oleh utusan kedua belah pihak menyangkut
rencana pernikahan tersebut
D. Marhusip.
Arti harafiahnya adalah berbisik. Maksudnya kelanjutan pembicaraan angka III
tetapi sudah oleh utusan resmi, bahkan ada kalanya sudah oleh kedua pihak
langsung
E. Pudun Saut.
Parajahaon/ Pengesahan kesepakatan di Marhusip di tonga managajana acara
yang dihadiri dalihan na tolu dan suhi ampang na opat masing-masing pihak.
Disini pihak Paranak/Pria sudah membawa makanan adat/makanan namargoar
Catatan:
Aslinya dikatakan "Marhata Sinamot" dimana pembicaraan langsung tanpa
didahului marhusip.
Yang pokok dibicarakan dalam acara adat Pudun Saut anatara lain adalah:
1. Sinamot.
2. Ulos
3. Parjuhut dan Jambar
4. Alap Jual atau Taruhon Jual)
5. Jumlah undangan
6. Tanggal dan tempat pemberkatan.
7. Tatacara.(Selengkapnya lihat dalam Pedoman Pudun Saut).
BAGIAN II UNJUK ATAU ACARA ADAT PERNIKAHAN
Acara ini diselenggarakan setelah acara pernikahan secara agama sesuai yang
diatur dalam UU untuk itu.
A. BEBERAPA Pengertian POKOK DALAM ADAT PERKAWINAN
1. Suhut:Kedua pihak yang punya hajatan
2. Parboru : Orang tua pengenten perempuan=Bona ni haushuton
3. Paranak : Orang tua pengenten Pria= Suhut Bolon.
4. Suhut Bolahan Amak : Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat
di selenggrakan.
5. Suhut naniambangan : Suhut yang dating
6. Hula-hula : Saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut.
7. Dongan Tubu : Semua saudara laki masing-masing suhut.
8. Boru : Semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut.
9. Dongan sahuta : Arti harafiah "teman sekampung" semua yang tinggal
dalam huta / kampung komunitas (daerah tertentu) yang sama paradaton /
solupnya.
10. Ale-ale : Sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan
(kekerabatan atau silsilah)
11. Uduran : Rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-masing
hula-hulanya.
12. Raja Parhata (RP), Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing
suhut, juru bicara yang ditetapkan masing-masng pihak
13. Namargoar : Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang
dipotong yang menandakan makanan adat itu adalah dari satu hewan
(lembu/kerbau) yang utuh, yang nantinya dibagikan.
14. Jambar : Namargoar yang dibagikan kepada yang berhak, sebagai
legitimasi dan fungsi keberadaannya dalan acara adat itu.
15. Dalihan Na Tolu (DNT) : Terjemahan harafiah"Tungku Nan Tiga" satu
sistim kekerabatan dan way of life masyarakat Adat Batak
16. Solup : Takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi
paradaton, yang bermakna dihuta imana acara adat batak diadakan
solup/paradaton dari huta itulah yang dipakai sebagai rujukan, atau disebut
dengan hukum tradisi "sidapot solup do na ro.
B. PROSESI MASUK TEMPAT ACARA ADAT (Contoh Acara di Tempat erempuan)
Raja Parhata/Protokol Pihak Perempuan = PRW
Raja Parhata/Protokol Pihak Laki-laki = PRP
Suhut Pihak Wanita = SW
Suhut Pihak Pria = SP
I. PRW meminta semua dongan tubu / semaraganya bersiap untuk menyambut
dan menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang.
II. PRW memberi tahu kepada Hula-hula, bahwa SP sudah siap menyambut dan
menerima kedatangan Hula-hula.
III. Setelah hula-hula mengatakan mereka sudah siap untuk masuk, PRW
mempersilakan masuk dengan menyebut satu persatu, hula-hula dan tulangnya
secara berurutan sesuai urutan rombongan masuk nanti:
1. Hula-hula,
2. Tulang,
3. Bona Tulang
4. Tulang Rorobot,
5. Bonaniari,
6. Hula-hula namarhahamaranggi:
7. Hula-hula anak manjae,
IV. PR Hulahula, menyampaikan kepada rombongan hula-hula dan tulang yang
sudah disebutkan PRW pada III, bahwa SW sudah siap menerima kedatangan
rombongan hula-hula dan tulang dengan permintaan agar uduran Hula-hula dan
Tulang memasuki tempat acara, secara bersama-sama. Untuk itu diatur
urut-urutan uduran (rombongan) hula-hula dan tulang yang akan memasuki
ruangan. Uduran yang pertama adalah Hula-hula,..., diikuti TULANG
.......sesuai urut-urutan yang disebut kan PR W pada III.
V. Menerima Kedatangan Suhut Paranak (SP).
Setelah seluruh rombongan hula-hula dan tulang dari SW duduk (acara IV),
rombongan Paranak/SP dipersilakan memasuki ruangan. PRW, memberitahu bahwa
tempat untuk SP dan uduran/rombongannya sudah disediakan dan SW sudah siap
menerima kedatangan mereka beserta Hula-hula, Tulang SP dan
uduran/rombongannya. PRP menyampaikan kepada dongan tubu , bahwa sudah ada
permintaan dari agar mereka memasuki ruangan.
Kepada hula-hula dan tulang (disebutkan satu perasatu) yaitu:
1. Hula-hula,
2. Tulang,
3. Bona Tulang,
4. Tulang Rorobot,
5. Bonaniari
6. Hula-hula namarhaha-marnggi:
7. Hula-hula anak manjae..
PRP memohon, sesuai permintaan hula-hula SW agar mereka masuk bersama-sama
dengan SP. Untuk itu tatacara dan urutan memasuki ruangan diatur, pertama
adalah Uduran/rombongan SP& Borunya, disusul Hula-hula....., Tulang.....dan
seterusnya sesuai urut-urutan yang telah dibacakan PR (Dibacakan sekali lagi
kalau sudah mulai masuk).
C. MENYERAHKAN TANDA MAKANAN ADAT.
(Tudu-tudu Ni Sipanaganon) Tanda makanan adat yang pokok adalah: kepala
utuh, leher (tanggalan), rusuk melingkar (somba-somba) , pangkal paha
(soit), punggung dengan ekor (upasira), hati dan jantung ditempatkan dalam
baskom/ember besar. Letak tanda makanan adat itu dalam tubuh hewan dapat
dilihat dalam gambar. Gambar Nama Jambar/Tanda Makanan Adat(Bagin Tubuh
Hewan Lembu atau Kerbau) Tanda makanan adat diserahkan SP beserta Isteri
didampingi saudara yang lain dipandu PRP, diserahkan kepada SW dengan bahasa
adat, yang intinya menunjukkan kerendahan hati dengan mengatakan walaupun
makanan yang dibawa itu sedikit/ala kadarnya semoga ia tetap membawa
manfaat dan berkat jasmani dan rohani hula-hula SW dan semua yang menyantap
nya, sambil menyebut bahasa adat : Sitiktikma si gompa, golang golang
pangarahutna, tung so sadia (otik) pe naung pinatupa i, sai godangma
pinasuna.
D. MENYERAHKAN DENGKE / IKAN OLEH SW
Aslinya ikan yang diberikan adalah jenis "ihan" atau ikan Batak, sejenis
ikan yang hanya hidup di Danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan
rasanya memang manis dan khas. Ikan ini mempunyai sifat hidup di air yang
jernih (tio) dan kalau berenang/berjalan selalu beriringan (mudur-udur),
karena itu disebut; dengke sitio-tio, dengke si mudur-udur (ikan yang hidup
jernih dan selalu beriringan / berjalan beriringan bersama)
Simbol inilah yang menjadi harapan kepada penganeten dan keluarganya yaitu
seia sekata beriringan dan murah rejeki (tio pancarian dohot pangomoan).
Tetapi sekarang ihan sudah sangat sulit didapat, dan jenis ikan mas sudah
biasa digunakan. Ikan Masa ini dimasak khasa Batak yang disebut "naniarsik"
ikan yang dimasak (direbus) dengan bumbu tertentu sampai airnya berkurang
pada kadar tertentu dan bumbunya sudah meresap kedalam daging ikan itu.
E. MAKAN BERSAMA
Sebelum bersantap makan, terlebih dahulu berdoa dari suhut Pria (SP) ,
karena pada dasarnya SP yang membawa makanan itu walaupun acara adatnya di
tempat SW.
Untuk kata pengantar makan, PRP menyampaikan satu uppasa (ungkapan adat)
dalam bahasa Batak seperti waktu menyerahakan tanda makanan adat:
Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna Tung, sosadiape napinatupa
on, sai godangma pinasuna.
Ungkapan ini menggambarkan kerendahan hati yang memebawa makanan (), dengan
mengatakan walaupun makanan yang dihidangkan tidak seberapa (pada hal hewan
yang diptong yang menjadi santapan adalah hewan lembu atau kerbau yang
utuh), tetapi mengharapkan agar semua dapat menikmatinya serta membawa
berkat. Kemudian PRP mempersilakan bersantap.
F. MEMBAGI JAMBAR/TANDA MAKANAN ADAT
Biasanya sebelum jambar dibagi, terlebih dahulu dirundingkan bagian-bagian
mana yang diberikan SW kepada SP. Tetapi, yang dianut dalam acara adat yaitu
Solup Batam, yang disebut dengan "JAMBAR MANGIHUT"dimana jambar sudah
dibicarakan sebelumnya dan dalam acara adatnya (unjuk) SW tinggal memberikan
bagian jambar untuk SP sebagai ulu ni dengke mulak. Selanjutnya masing
masing suhut membagikannya kepada masing-masing fungsi dari pihaknya
masing-masing saat makan sampai selesai dibagikan.
G. MANAJALO TUMPAK (SUMBANGAN TANDA KASIH)
Arti harafiah tumpak adalah sumbangan bentuk uang, tetapi melihat
keberadaan masing-masing dalam acara adat mungkin istilah yang lebih tepat
adalah tanda kasih. Yang memberikan tumpak adalah undangan SUHUT PRIA, yang
diantarkan ketempat SUHUT duduk dengan memasukkannya dalam baskom yang
disediakan/ ditempatkan dihadapan SUHUT, sambil menyalami pengenten dan
SUHUT. Setelah selesai santap makan, PRP meminta ijin kepada PRW agar mereke
diberi waktu untuk menerima para undangan mereka untuk mengantarkan tumpak
(tanda kasih). Setelah PRW mempersilakan, PRP menyampai kan kepada dongan
tubu, boru/bere dan undangannya bahwa SP sudah siap menerima kedatangan
mereka untuk mengantar tumpak. Setelah selesai PRP mengucapkan terima kasih
atas pemberian tanda kasih dari para undangannya
H. ACARA PERCAKAPAN ADAT.
I. MEMPERSIAPKAN PERCAKAPAN:
1. RPW menanyakan apakah sudah siap memulai percakapan, yang dijawab oleh
SP, mereka sudah siap
2. Masing-masing PRW dan PRP menyampaikan kepada pihaknya dan hula-hula
serta tulangnya bahwa percakapan adat akan dimulai, dan memohon kepada
hula-hulanya agar berkenan memberi nasehat kepada mereka dalam percakapan
adat nanti.
III. MEMULAI PERCAKAPAN (PINGGAN PANUNGKUNAN)
. Pinggan Panungkunan, adalah piring yang didalamnya ada beras, sirih,
sepotong daging (tanggo-tanggo) dan uang 4 lembar. Piring dengan isinya ini
adalah sarana dan simbol untuk memulai percakapan adat.
1. PRP meminta seorang borunya mengantar Pinggan Panungkunan itu kepada PRW
2. PRW, menyampaikan telah menerima Pinggan Panungkunan dengan menjelaskan
apa arti semua isi yang ada dalam beras itu. Kemudian PRW mengambil 3 lembar
uang itu, dan kemudian meminta salah seorang borunya untuk mengantar piring
itu kembali kepada PRP
3. PRW membuka percakapan dengan memulainya dengan penjelasan makna dari
tiap isi pinggan panungkunan (beras, sirih, daging dan uang), kemudian
menanyakan kepada makna tanda dan makanan adat yang sudah dibawa dan
dihidangkan oleh pihak
.
4. Akhir dari pembukaan percakapan ini, keluarga mengatakan bahwa makanan
dan minuman pertanda pengucapan syukur karena berada dalam keadaan sehat,
dan tujuan adalah menyerahkan kekurangan sinamot , dilanjutkan adat yang
terkait dengan pernikahan anak mereka.
IV. PENYERAHAN PANGGOHI/KEKURANGAN SINAMOT
1. Dalam percakapan selanjutnya, setelah PRW meminta PRP menguraikan
apa/berapa yang mau mereka serahkan , PRP memberi tahukan kekurangan
sinamot yang akan mereka serahkan adalah sebsar Rp...Juta, menggenapi
seluruh sinamot Rp....Juta. (Pada waktu acara Pudun Saut, sudah menyerahkan
Rp 15 juta sebagai bohi sinamot (mendahulukan sebagian penyerahan sinamot di
acara adat na gok)
2. Sebelum PR mengiakan lebih dulu RP meminta nasehat dari Hula-hula dan
pendapat dari boru .
3. Sesudah diiakan oleh PR , selanjutnya penyerahan kekurangan sinamot
kepada suhut oleh RP.
V. Penyerahan Panandaion.
Tujuan acara ini memperkenalkan keluarga pihak perempuan agar keluarga pihak
pria mengenal siapa saja kerabat pihak perempuan sambil memberikan uang
kepada yang bersangkutan.Secara simbolis, yang diberikan langsung hanya
kepada 4 orang saja, yang disebut dengan patodoan atau "suhi ampang na opat"
( 4 kaki dudukan/pemikul bakul) yang merupakan symbol pilar jadinya acara
adat itu. Dengan demikian biarpun hanya yang empat itu yang dikenal/menerima
langsung, sudah mewakili menerima semuanya. (Mungkin dapat dianalogikan
dengan pemberian tanda penghargaan massal kepada pegawai PNS yang diwakili 4
orang, masing-masing 1 orang dari tiap golngan I sampai golongan IV).
Kepada yang lain diberikan dalam satu envelope saja yang nanti akan
dibagikan kepada yang bersangkutan.
VI Penyerahan tintin marangkup.
Diberikan kepada tulang /paman penganten pria (saudara laki ibu penganten
pria). Yang menyerahkan adalah orang tua penganten perempuan berupa uang
dari bagian sinamot itu. Seacara tradisi penganten pria mengambil boru
tulangnya untuk isterinya, sehingga yang menerima sinamot seharusnya
tulangnya. Dengan diterimanya sebagian sinamot itu oleh Tulang Pengenten
Pria yang disebut titin marangkup, maka Tulang Pria mengaku penganten
wanita, isteri ponakannya ini, sudah dianggapnya sebagai boru/putrinya
sendiri walaupun itu boru dari marga lain.
VII. Penyerahan/Pemberian Ulos oleh Pihak Perempuan.
Dalam Adat Batak tradisi lama atau religi lama, ulos merupakan sarana
penting bagi hula-hula, untuk menyatakan atau menyalurkan sahala atau
berkatnya kepada borunya, disamping ikan, beras dan kata-kata berkat. Pada
waktu pembuatannya ulos dianggap sudah mempunyai "kuasa". Karena itu,
pemberian ulos, baik yang memberi maupun yang menerimanya tidak sembarang
orang, harus mempunyai alur tertentu, antara lain adalah dari Hula-hula
kepada borunya, orang tua kepada anank-anaknya. Dengan pemahaman iman yang
dianut sekarang, ulos tidak mempunyai nilai magis lagi sehingga ia sebagai
simbol dalam pelaksaan acara adat. Ujung dari ulos selalu banyak rambunya
sehingga disebut "ulos siganjang/sigodang rambu"(Rambu, benang di ujung ulos
yang dibiarkan terurai).
Pemberian Ulos sesuai maknanya adalah sebagai berikut:
Ulos Namarhadohoan
No Uraian Yang Menerima Keterangan
AKepada Paranak
1 Pasamot/Pansamot Orang tua pengenten pria
2 Hela Pengenten
B Partodoan/Suhi Ampang Naopat
1 Pamarai Kakak/Adek dari ayah pengenten pria
2 Simanggokkon Kakak/Adek dari pengenten pria
3.NamborunyaSaudra perempuan dari ayah pengenten pria
4 Sihunti AmpangKakak/Adek perempuan dari pengenten pria
Ulos Kepada Pengenten
NoUraian Yang Mangulosi Keterangan
A Dari Parboru/Partodoan
1 Pamarai1 lembar,wajibKakak/Adek dari ayah pengenten wanita
2 SimandokkonKakak/Adek laki-laki dari pengenten wanita
3.Namborunya (Parorot) Iboto dari ayah pengenten wanita
4 ParibanKakak/Adek dari pengenten wanita
B Hula-hula dan Tulang Parboru
1 Hula-hula1 lembar, wajib
2 Tulang1 lembar, wajib
3 Bona Tulang1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot1 lembar, tidak wajib
C Hula-hula dan Tulang Paranak
1 Hula-hula1 lembar, wajib
2 Tulang1 lembar, wajib
3 Bona Tulang1 lembar, wajib
4 Tulang Rorobot1 lembar, tidak wajib
Catatan:
1. Hula-hula namarhahamaranggi dohot hula-hula anak manjae ndang ingkon
ulos tanda holong nasida boi ma nian bentuk hepeng, songon na pinatorang.
Songoni angka na asing na marholong ni roha.
2. Keruwetan yang terjadi karena undangan pihak permpuan merasa uloslah
yang mejadi tanda holong/tanda kasih sehingga harus mengulosi, pada hal
sesuai pemahamn pemebri ulos yang tidak sembarangan, ulos yang diberikan itu
artinya sam dengan kado/tanda kasih bentuk lain baik barang atau uang,
tidak ada nilai adat/sakralnya lagi
VII. Mangujungi Ulaon (Menyimpulkan Acara Adat)
1. Manggabei (kata-kata doa dan restu) dari pihak SW. Berupa kata-kata
pengucapan syukur kepada Tuhan bahwa acara adat sudah terselenggara dengan
baik:
a.Ucapan terima kasih kepada dongan tubu dan hula-hulanya
b.Permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru diberkati demikian
juga orang tua pengenten dan saudara yang lainnya.
2. Mangampu (ucapan terima kasih) dari pihak SP
Ucapan terima kasih kepada semua pihak baik kepada hula-hula SW maupun
kepada SP atas terselenggaranya acara adat nagok ini.
CATATAN:
Dalam marhata gabe-gabe dan mangampu, RP masing-masing biasanya memberi
kesempatan kepada Hula-hula dan boru/ber masing-masing turut menyampaikan
beberapa kata sesuai fungsinya baru SUHUT sebagai penutup. Disini tidak
pada tempatnya memberi nasehat kepada pengenten panjang lebar, tetapi
senentiasa permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru itu menjadi
rumahtangga yang diberkati
3. Mangolopkon (Mengamenkan) oleh Tua-tua/yang dituakan di Kampung itu
Kedu suhut dan , menyediakan piring yang diisi beras dan uang ( biasanya
ratusan lembar pecahan Rp1.000 yang baru) kemudian diserahkan kepada Rja
Huta yang mau mangolopkon Raja Huta berdiri sambil mengangkat piring yang
berisi beras dan uang olop-olop itu. Dengan terlebih dahulu menyampaikan
kata-kata ucapan Puji Syukur kepada Tuhan Karen kasih-Nya cara adat rampung
dalam suasan dami (sonang so haribo-riboan) serta restu dan harapan kemudian
diahiri , dengan mengucapkan: olop olop, olop olop, olop olop sambil menabur
kan beras keatas dan kemudian membagikan uang olop-olop itu.
4.Ditutup dengan doa /ucapan syukur. Akhirnya acara adat ditutup dengan doa
oleh Hamba Tuhan. Sesudah amin, sama-sama mengucapkan: horas...! horas...!
horas...!
5. Bersalaman untuk pulang...BAGIAN III PASKA PERNIKAHAN
Ada tradisi lama (tidak semua melakukannya) setelah acara adat nagok , ada
lagi acara yang disebut paulak une/mebat dan maningkir tangga. Acara ini
dilakukan setelah penganten menjalani kehidupan sebagai suami isteri
biasanya sesudah 7-14 hari (sesudah robo-roboan) yang sebenarnya tidak
wajib lagi dan tidak ada kaitannya dengan acara keabsahan perkawinan adat na
gok. Acara dimaksud adalah:
I. Paulak Une
Suami isteri dan utusan pihak pria dengan muda mudi (panaruhon) mengunjungi
rumah mertu/orang tuanya dengan membawa lampet (lampet dari tepung beras
dibungkus 2 daun bersilang). Menurut tradisi jika pihak pria tidak berkenan
dengan pernikahan itu (karena perilaku) atau sang wanita bukan boru ni raja
lagi, si perempuan bisa ditinggalkan di rumah orang tua perempuan itu.
II. Maningkir Tangga. (Arti harafiah "Menilik Tangga)
Pihak orang tua perempuan menjenguk rumah (tangga anaknya) yang biasanya
masih satu rumah dengan orang tuanya.
CATATAN:
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga
langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka
namakan "Ulaon Sadari" . Acara ini sangat keliru, karena disamping tidak ada
maknanya seperti dijelaskan diatas, tetapi juga menambah waktu dan biaya (
ikan & lampet dan makanan namargoar) dan terkesan main-main/ melecehkan
makna adat itu.
Karena itu diharapkan acara seperti ini jangan diadakan lagi dengan alasan:
1. Dari pemahaman iman, rumah tangga yang sudah diberkati tidak bisa
bercerai lagi dengan alasan yang disebut dalam pengertian Paulak Une, dan
pemahaman adat itu dilakukan setelah penganten mengalami kehidupan sebagai
suami isteri.
2. Terkesan main-main, hanya tukar menukar tandok berisi makananan,
sementara tempat Paulak Une dan Maningkir Tangga yang seharusnya di rumah
kedua belah pihak. Rrtinya saling mengunjungi rumah satu sama lain,
diadakan di gedung pertemuan , pura-pura saling mengunjungi, yang tidak
sesuai dengan makna dan arti paulak une dan maningkir tangga itu.
3. Menghemat waktu dan biaya, tidak perlu lagi harus menyediakan makanan
namargoar (paranak) dan dengke dengan lampetnya (parboru)
4. Acara itu tidak harus diadakan dan tidak ada hubungannya dengan keabsahan
acara adat nagok perkawinan saat ini.
5. Acara Paulak Une dan Maningkir Tangga diadakan atau tidak, diserahkan
saja kepada kedua SUHUT karena acara ini adalah acara pribadi mereka,
biarlah mereka mengatur sendiri kapan mereka saling mengunjungi rumah.
Pemberian Ulos sesuai maknanya adalah sebagai berikut: Ulos Namarhadohoan.
Orang Batak sudah dikenal sebagai “Bangso”, kenapa..?
Dahulu sudah memiliki Kerajaan sendiri, Mardebata Mulajadi Nabolon (“pencipta yang maha besar”), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak (“Ringgit Sitio Suara”), uning-uningan namarragam (“musik”), memiliki Budaya Adat, dan mempunyai Hukum.
Namun sekarang ini sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan orang Batak Toba sudah banyak yang tidak mengetahui bahasa daerahnya sendiri, melihat perkembangan teknologi sekarang ini, tor-tor Batak sudah banyak yang tidak mengetahuinya, bahkan dewasa ini Ulos Batak tidak dikenal jenis-jenis dan Fungsinya.
2 Musa 19 ayat 10:
Dung i didok Jahowa ma tusi Musa laho maho tumopot bangso i jala urasi nasida sadarion dohot marsogot asa ditatap nasida Ulos na.
Dengan dasar ini Bersama Toba dot Com, mensosialisasikan Jenis dan Fungsi Ulos Batak:
I.Ulos Antak-Antak,
dipakai selendang orang tua melayat orang meninggal, dan dipakai sebagai kain dililit/ hohop hohop waktu acara manortor.
II. Ulos Bintang Maratur,
Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya didalam acara-acara yakni: Diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru oleh orang tua, kalau diadat Toba Ulos ini diberikan waktu selamatan Hamil 7 Bulan oleh orang tua, tetapi lain halnya kalau di Tarutung Ulos ini yang diberikan waktu acara suka cita (“gembira”), Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu yang baru lahir, parompa walaupun kebanyakan kasih mangiring apalagi yang maksudnya agar anak yang baru lahir diiringi anak selanjutnya, kemudian ulos ini dipakai untuk pahompu yang dibabtis dan juga dipakai untuk sebagai selendang.
III. Ulos Bolean,
Ulos ini dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.
IV. Ulos Mangiring,
Ulos ini dipakai selendang, Tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang dimaksud sebagai Simbol keinginan agar sianak diiringi anak yang seterusnya, bahkan Ulos ini dapat dipakai sebagai Parompa.
V. Ulos Padang Ursa,
dipakai sebagai Tali-tali dan Selendang.
VI.. Ulos Pinan Lobu-Lobu,
dipakai sebagai Selendang.
VII. Ulos Pinuncaan,
Ulos ini sebenarnya terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos yang kegunaannya antara lain:
Ulos ini dapat dipakai berbagai keperluan acara-acara duka cita atau suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ disandang oleh Raja-Raja Adat maupun oleh Rakyat Biasa selama memenuhi pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat suhut sihabolonon/ Hasuhutonlah (“tuan rumah”) yang memakai ulos ini, kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran, ulos ini juga dipakai/ dililit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton, dan Ulos ini sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.
VIII, Ulos Ragi Hotang,
Ulos ini biasa diberi kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai Ulos Hela.
IX. Ragi Huting,
Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon jaman orang tua dulu sebelum merdeka, anak-anak perempuan pakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari dililit didada (Hoba-hoba), dan kemudian dipakai orang tua sebagai selendang apabila bepergian.
X. Ulos Sibolang Rasta Pamontari,
Ulos ini kalau jaman dulu dipakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang ini sibolang bisa dikatakan symbol duka cita, dipakai juga sebagai Ulos Saput (yang meninggal orang dewasa yang belum punya cucu), dan dipakai sebagai Ulos Tujung (Janda/Duda yang belum punya cucu), dan kemudian pada peristiwa duka cita Ulos ini paling banyak dipergunakan oleh keluarga dekat.
XI. Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar,
dipakai sebagai Selendang.
XII. Ulos Sitolu Tuho,
Ulos ini dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita,
XIII. Ulos Suri-suri Ganjang,
dipakai sebagai Hande-hande pada waktu margondang, dan dipergunakan sebagai oleh pihak Hula-hula untuk manggabe i borunya karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe.
XIV. Ulos Ragi Harangan,
pemakaiannya sama dengan Ragi Pakko.
XV. Ulos Simarinjam sisi,
dipakai sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinuncaan disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani yang memakai ini satu orang paling depan.
XVI. Ulos Ragi Pakko,
dipakai sebagai selimut pada jaman dahulu dan pengantar wanita yang dari keluarga kaya bawa dua ragi untuk selimut yang dipergunakan sehari-hari, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua meninggal akan disaput pakai Ragi ditambah Ulos lainnya yang disebit Ragi Pakko lantaran memang warnanya hitam seperti Pakko.
XVII.Ulos Tumtuman,
dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan.
XVIII Ulos Tutur-Tutur,
dipakai sebagai tali-tali dan sebagai Hande-hande yang sering diberikan oleh orang tua sebagai Parompa kepada cucunya.
Maka dari jenis dan fungsi Ulos ini, disebut pengenalan jati diri orang batak sesuai Budaya dan Adatnya, dan orang Batak dikenal dari Ulos yang disandangnya, sian Tortornya bahkan dari Tungkot na.